Nama Mary Jane Fiesta Veloso memicu kenangan 2015 ketika ia nyaris dieksekusi mati karena kasus penyelundupan narkoba. Pada 29 April 2015, pelaksanaan hukuman mati ditunda di saat-saat terakhir. Mary Jane hampir menemui ajalnya bersama delapan terpidana mati lainnya. Namun, dalam kejutan dramatis, eksekusinya ditangguhkan.
Salah satu aspek menarik dari penundaan eksekusi itu adalah penggunaan sembilan ambulans sebagai kamuflase. Iring-iringan ambulans ini dirancang untuk menutupi jumlah terpidana sebenarnya yang dibawa ke tempat eksekusi di Limus Buntu, Nusakambangan. Sebuah sumber mengungkapkan bahwa ambulans yang seharusnya membawa Mary Jane sebenarnya kosong, menunjukkan bahwa hanya delapan terpidana yang benar-benar dibawa untuk eksekusi.
Tony T Spontana, yang saat itu memegang posisi sebagai Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, mengonfirmasi bahwa kamuflase ini dimaksudkan untuk meredam kehebohan publik. Saat itu, eksekusi mati menjadi pusat perhatian baik nasional maupun internasional.
Penundaan eksekusi Mary Jane ternyata berkaitan dengan intervensi Presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino III. Dalam pertemuannya dengan Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) di acara KTT ASEAN ke-26 di Kuala Lumpur, Aquino memohon untuk menunda eksekusi Mary Jane. Ia mengklaim bahwa Mary Jane adalah korban dari sindikat perdagangan manusia. Pada 28 April 2015, sehari sebelum eksekusi direncanakan, Maria Cristina Sergio, yang dianggap menjebak Mary Jane, ditangkap oleh otoritas keamanan Filipina. Sergio dilaporkan menyerahkan diri di Cabanatuan.
Presiden Jokowi menjelaskan di Jakarta bahwa, “Ada permintaan dari Pemerintah Filipina terkait kasus perdagangan manusia, sehingga eksekusi Mary Jane hanya ditunda, bukan dibatalkan.”